Thursday, April 19, 2007

Konflik Manajemen Tahap II

Manajemen pelayanan publik dalam organisasi publik umumnya memberikan layanan berupa jasa yang memiliki karakteristik: tidak nyata (intangible), tidak terpisahkan (inseparable), tidak dapat disimpan (perishable), dan bervariasi (variable). Ciri-ciri seperti ini sering menyulitkan manajemen untuk menentukan indikator kualitas pelayanan yang diberikan. Artinya, apakah pelayanan kepada publik yang diberikan selama ini telah memuaskan mereka atau tidak. Hal ini berbeda dengan pelayanan pada organisasi bisnis yang mentransaksikan barang yang secara fisik nampak, dan konsumen dapat secara langsung menyatakan kesukaan atau ketidaksukaannya. Karena itu dalam organisasi publik, kualitas layanan amat ditentukan oleh interaksi
antara pemberi layanan dan pengguna layanan (masyarakat). Aparatur memiliki tingkatan kinerja tertentu dalam memberikan layanan, sedangkan masyarakat memiliki ekspektasi tentang kualitas layanan yang diinginkan. Kualitas layanan, dengan demikian, didefinisikan sebagai hasil persepsi dari perbandingan antara harapan pelanggan (penerima layanan) dengan kinerja aktual pemberi layanan.
Dari pengertian ini terdapat dua unsur utama dalam kualitas layanan, yaitu
expected service (layanan yang diinginkan) dan perceived service (layanan yang dirasakan). Apabila layanan yang diterima atau dirasakan sesuai dengan yang diharapkan, maka kualitas layanan yang dipersepsikan baik dan memuaskan. Jika layanan yang diterima melampaui harapan pelanggan maka kualitas layanan dipersepsikan
sebagai kualitas ideal. Sebaliknya, jika kualitas layanan yang diterima lebih rendah, maka akan dipersepsikan buruk atau tidak memuaskan
Setiap pimpinan suatu institusi publik menghendaki agar tercapai suatu pelayanan jasa yang unggul (service excellence), yaitu sikap atau cara karyawan dalam melayani masyarakat pelanggan secara memuaskan. Terdapat lima faktor determinan yang
menentukan kualitas layanan yang diberikan, yaitu:
a) kehandalan, kemampuan untuk memberikan jasa yang dijanjikan tepat pada waktunya;
b) responsif, kemauan untuk membantu pelanggan dan memberikan jasa dengan cepat;
c) keyakinan, kemampuan untuk menimbulkan kepercayaan pada diri pelanggan melalui perilaku ramah dan sopan;
d) empati, kepedulian atau kemampuan untuk memberikan perhatian pribadi pada pelanggan;
e) berwujud, mengacu pada fasilitas fisik, yaitu kemampuan dalam menyedian peralatan, personil, dan media komunikasi yang dibutuhkan pelanggan.
Dalam menganalisis keterkaitan antara konflik dalam organisasi dan kualitas pelayanan publik kita menganggap bahwa service excellence atau kualitas pelayanan publik yang unggul merupakan suatu tingkatan kinerja yang “tinggi” yang diharapkan dicapai dalam interaksi antara aparatur dengan publik. Hal ini dapat dicapai jika sejumlah faktor
determinan yang telah disebut di atas dapat dipenuhi dalam proses interaksi itu.
Tingkat konflik yang tidak memadai (terlalu rendah) atau terlalu berlebihan (konflik tinggi) dapat merintangi keefektifan organisasi untuk mencapai kualitas pelayanan publik yang tinggi. Kedua situasi ektrim ini dapat memunculkan sikap-sikap aparat yang apatis, absenteisme tinggi, bekerja seadanya, tidak empatik terhadap pengguna jasa, dan sebagainya; yang pada akhirnya akan memperendah kualitas pelayanan mereka kepada publik. Untuk itulah diperlukan suatu keahlian untuk mengelola konflik dari setiap pimpinan organisasi publik. Penggunaan berbagai teknik pemecahan dan motivasi untuk mencapai tingkat konflik yang diinginkan disebut sebagai manajemen konflik.

Konflik Manajemen Tahap 1

Dalam sebuah organisasi pekerjaan individual maupun kelompok pekerja saling terkait dengan pekerjaan pihak lain. Ketika suatu konflik muncul di dalam sebuah organisasi, penyebabnya selalu diidentifikasikan sebagai komunikasi yang kurang baik. Konflik merupakan proses yang dinamis, bukannya kondisi statis. Konflik memiliki awal, dan melalui banyak tahap sebelum berakhir. Ada banyak pendekatan yang baik untuk menggambarkan proses suatu konflik. konflik merupakan peristiwa yang wajar terjadi dalam semua kelompok dan organisasi. Konflik merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari, karena itu keberadaan konflik harus diterima dan dirasionalisasikan sedemikian rupa sehingga bermanfaat bagi peningkatan kinerja organisasi.
Dari pengalaman yang didapat dalam studi kasus di Purwokerto konflik seringkali muncul dikarenakan hal-hal sebagai berikut :

1. Pertukaran informasi atau komunikasi yang tidak cukup (inadequate communication)

2. Keterbatasan sumber daya
Kelangkaan suatu hal yang dapat menumbuhkan persaingan dan seterusnya dapat berakhir menjadi konflik

3. Batas-batas pekerjaan yang tidak jelas atau tumpang-tindih

4. harapan-harapan yang tidak terpenuhi (karyawan yang memiliki harapan yang tidak realistik terhadap pekerjaan, upah, atau promosi, akan lebih mudah untuk konflik)

5. Kesalingtergantungan dalam pekerjaan
Semakin tergantung satu pihak dengan pihak lain semakin mudah konflik terjadi (misalnya, seseorang tidak dapat menyelesaikan pekerjaannya tanpa bantuan orang lain)

6. kompleksitas organisasi (konflik cenderung meningkat bersamaan dengan semakin meningkatnya susunan hierarki dan spesialisasi pekerjaan)

menurut pandangan ku konflik dapat berakibat baik maupun buruk. Usaha penanganannya harus berupaya untuk menarik hal-hal yang baik dan mengurangi hal-hal yang buruk. Pandangan ini dapat diuraikan sebagai berikut :
- Konflik adalah suatu akibat yang tidak dapat dihindarkan dari interaksi organisasional dan dapat diatasi dengan mengenali sumber-sumber konflik.
- Konflik pada umumnya adalah hasil dari kemajemukan sistem organisasi
- Konflik diselesaikan dengan cara pengenalan sebab dan pemecahan masalah. Konflik dapat merupakan kekuatan untuk pengubahan positif di dalam suatu organisasi.